Desa Sumbersawit terletak di lereng kaki gunung Lawu, Kabupaten Magetan ini menyimpan kekayaan budaya yang tersembunyi dibalik cerita lisan masyarakat dan situs-situs bersejarah peninggalan leluhur. Melalui program kerja Telisik Sumbersawit, terungkap berbagai narasi dan praktik budaya yang nyatanya tidak hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga menjadikan bentuk literasi budaya yang berharga bagi generasi masa kini dan generasi mendatang.
Asal-usul dan Identitas Sumbersawit
Penamaan Desa Sumbersawit memiliki beberapa versi. Versi pertama, Sumbersawit berasal dari dua kata yaitu, kata “sumber” yang berarti mata air, dan kata “sawit” menurut versi lokal dapat merujuk pada permulaan (awit). Dalam versi lain, dulunya desa Sumbersawit merujuk pada satu pohon rindang yang tumbuh di bawahnya mengalir sumber mata air. Versi ketiga, nama Sumbersawit lahir dari keberadaan pohon kelapa (sawit) yang banyak ditemukan di Kawasan desa tersebut yang berdampingan dengan sumber air yang melimpah.
Secara administratif, desa Sumbersawit memiliki tiga dusun dan sembilan dukuhan yang masing-masing memiliki kisah sejarah dan karakteristik sendiri. Pemerintahan desa dimulai dengan kepemimpinan tokoh yang biasa disebut demang atau bekel, dengan Mbah Kartodikromo sebagai lurah yang menjabat sekitar tahun 1951-1978 desa Sumbersawit. Dari masa ke masa, kemimpinan desa berpindah tangan hingga generasi ke-sembilan. Silsilah kepemimpinan desa tercatat hingga saat ini, yang menunjukkan kesinambungan tradisi dan struktur pemerintahan lokal yang kuat.
Tradisi Budaya: Bersih Desa sebagai Wujud Syukur
Salah satu tradisi yang masih lestari saat ini adalah bersih desa, sebuah tradisi tahunan yang dilaksanakan berdasarkan penanggalan Jawa. Bersih desa ini merupakan kegiatan rutin masyarakat sebagai simbol mengawali bercocok tanam dengan harapan hasil panennya bagus dan melimpah. Kegiatan ini dilakukan pada penanggalan tertentu, di Dukuh Growong dan Dukuh Sawit dilakukan bersih desa setiap selasa kliwon dalam masa kapitu saat intensitas hujannya tinggi. Kegiatan tersebut juga berlaku di Dukuh Meri yang dilakukan setiap jumat legi masa kapitu. Kegiatan ini mencakup pembersihan sumber mata air, saluran irigasi, dan lingkungan sekitarnya, lalu dilanjutkan dengan tasyakuran bersama. Masyarakat Sumbersawit mempertahankan tradisi ini sebagai wujud Syukur kepada Sang Pencipta serta dengan adanya tradisi ini dapat menjunjung nilai spiritualitas, kelestarian alam, dan gotong royong.
Jejak Leluhur dalam Narasi Rakyat
Desa Sumbersawit mewariskan secara turun-temurun cerita lisan dari generasi ke generasi. Desa Sumbersawit memiliki berbagai mitos, legenda, dan cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat Sumbersawit, meskipun sebagian besar hal tersebut belum terdokumentasi secara tertulis dengan baik. Cerita lisan tersebut menjadi medium utama penyampaian sejarah di Desa Sumbersawit. Salah satu cerita lisan paling dikenal adalah kisah tentang Masjid Tiban yang terletak di Dukuh Baran, yaitu masjid yang konon hendak dibangun dalam satu malam oleh kekuatan supranatural, namun gagal terwujud karena diketahui manusia.
Lain kisah di Dukuh Belik, terdapat cerita lisan tentang seorang wali yang menancapkan tongkat dan memunculkan sumber mata air yang hingga kini tak pernah surut. Cerita ini bukan hanya legenda, melainkan juga menyiratkan filosofi keseimbangan manusia dan alam.
Ada pula kisah mengenai Makam Seto Kumitir, tempat peristirahatan tokoh yang melepaskan busana Kerajaan dan pusaka kemudian meninggalkan wasiat yang ditanam di makam Sentono. Tempat ini dipercaya memiliki nilai sakral tinggi dan dijaga oleh ‘abdi’ hingga wafat.
Selain itu, nama-nama dukuh seperti Growong, Jagungan, atau Selogedong mengandung cerita asal-usul unik yang mencerminkan kedalaman interaksi antara masyarakat Sumbersawit dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Misalnya, kata “Growong” berasal dari lubang besar pada pohon tua, sedangan kata “Jagungan” berasal dari aktivitas masyarakat jagongan atau ber-dialek sebagai bentuk interaksi antar masyarakat desa Sumbersawit.
Situs Budaya sebagai Simbol Sakral dan Peradaban Lokal
Desa Sumbersawit ditemukan situs-situs budaya yang mencakup makam leluhur, petilasan, sendang (mata air), dan gua alami. Di Dukuh Mitir, masyarakat masih rutin melakukan selamatan di situs makam pendiri wilayah tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan serta pelestarian nilai-nilai luhur. Beberapa cerita lisan lainnya, seperti di Sendang Growong yang merupakan salah satu situs yang diyakini sebagai tempat meditasi spiritual. Lain Dukuh ada pula cerita lisan, menurut kepercayaan lokal Sukinangun juga muncul lokasi ini menjadi tempat munculnya beberapa entitas, salah satunya harimau yang muncul di makam ‘mbah gathi’ .
Hal unik lainnya adalah kepercayaan terhadap panggang tumpeng yang digunakan dalam ritual sebagai bentuk komunikasi simbolik dengan leluhur dan alam. Makanan yang dipersembahkan tidak boleh dicicipi sebelumnya karena dianggap sebagai persembahan suci. Pelanggaran terhadap aturan tidak tertulis ini diyakini dapat mengundang hal-hal supranatural terhadap masyarat.
Sayangnya, beberapa situs belum mendapatkan perhatian penuh dan masih dalam tahap pengembangan. Banyak potensi arkeologis seperti batu-batuan dan struktur tua belum diteliti secara serius, meskipun diyakini menyimpan jejak peradaban masa lampau.
Mitos: Warisan Imajinasi Kolektif
Terdapat beberapa cerita lisan yang masih diyakini sebagai mitos dan kepercayaan Desa Sumbersawit, diantaranya sebagai berikut. Masyarakat Sumbersawit mengenal tokoh sakti Wong Kanung yang konon tidak memiliki pusar. Adapula kisah lisan di makam Mbah Gathi yang muncul sosok harimau gaib yang diyakini sering muncul. Dan terakhir cerita tentang Sastro Kenongo, tokoh misterius yang diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit, sehingga memperkuat nilai historis kawasan ini.
Cerita-cerita ini bukan sekadar hiburan rakyat, tetapi berfungsi sebagai media nilai, etika, dan moral yang diwariskan antargenerasi. Dalam kajian antropologi budaya, bentuk cerita seperti ini termasuk dalam folklor verbal, yaitu narasi turun-temurun yang merepresentasikan jati diri komunitas.
Tantangan dan Harapan Pelestarian Cerita Lisan
Pelestarian warisan di Sumbersawit menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari minimnya dokumentasi, meskipundemikian generasi muda masih memiliki minat mengenai tradisi lisan Desa Sumbersawit. Dalam kasus ini, terkadang budaya nenek moyang masih dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama atau dianggap mengandung unsur syirik. Padahal, Sebagian besar praktik tersebut justru meununjukkan penghormatan kepada alam dan Sang Pencipta.
Hingga saat ini, belum ada penelitian formal atau program pelestarian dari pemerintah yang mendukung situs-situs budaya ini menjadi cagar budaya. Padahal, potensi situs-situs yang ada di Sumbersawit sangat besar, baik untuk edukasi, penelitian, maupun pengembangan pariwisata berbasis budaya.
Narasumber menyampaikan harapan agar generasi muda dapat menjadi penjaga dan penerus nilai-nilai budaya desa Sumbersawit. Salah satu gagasan adalah memanfaatkan media digital seperti video dan film untuk mendokumentasikan dan menyebarkan cerita dan situs bersejarah kepada masyarakat luas.
Literasi Budaya sebagai Pilar Identitas Lokal
Cerita-cerita tersebut sebagian besar disampaikan oleh para sesepuh atau orang tua kepada anak-anak mereka. Meski saat ini generasi muda cenderung mengakses informasi melalui media sosial, nilai-nilai budaya tetap dapat dijaga jika ada upaya pelestarian yang tepat.
Cerita lisan dan situs warisan leluhur di Desa Sumbersawit bukan hanya bagian dari masa lalu, melainkan fondasi penting dalam pembentukan identitas budaya masyarakat setempat. Literasi budaya, dalam konteks ini, bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga memahami dan meneruskan nilai, norma, serta sejarah lokal yang terkandung dalam narasi leluhur.
Dengan pendekatan yang inklusif dan modern, seperti dokumentasi digital dan pendidikan berbasis kearifan lokal, warisan budaya Sumbersawit dapat tetap hidup dan memberi kontribusi nyata bagi pendidikan karakter, ekologi, dan keberagaman budaya di Indonesia.